Friday, November 23, 2012

Kesederhanaan Interaksi dalam Industri Musik Independen

Sebuah gebrakan dalam dunia komunikasi masa kini adalah pilihan kalimat yang tepat untuk menggambarkan media sosial. Dunia berada dalam genggaman dan digerakkan oleh ibu jari yang sinkron dengan sel-sel otak yang aktif karena imajinasi. Berimajinasi waktu-waktu ini sudah bukan hal yang terkungkung kesulitan sumber daya, terima kasih yang terlambat disampaikan kepada Zuckerberg sebagai salah satu inspirator yang terdeteksi mata dunia.

Bicara tentang imajinasi tentunya tidak lepas dari kelahiran seni. Indonesia dan talenta, dua hal yang sudah dikawinkan sah sejak era komunikasi maya yang meledak luas di antara pengguna Internet di Indonesia. Ragam akun dan halaman yang populer menyuarakan demokrasi dalam berkarya dengan integritas wara-wiri setiap harinya hanya sejauh kata kunci yang sesuai di situs pencari segala seperti Google atau Yahoo. 

Seni yang paling mudah diapresiasi hampir selalu bernafaskan nada, begitu juga di Indonesia. Yang menghubungkan musik dengan media sosial seringkali menyangkut promosi, tapi inovasi selalu mampu menggeser generalisasi. Satu yang tidak lepas dari pengamatan adalah kultur musik independen atau yang akrab disebut indie. Boleh disebut aliran musik Do It Yourself (DIY), bermodalkan hasrat bermusik yang ogah dijajah selera pasar dan dalam budget serendah-rendahnya ternyata sanggup menimbulkan atraksi tersendiri. Musisi-musisi berbendera indie bermunculan via media sosial seperti MySpace dan YouTube, lalu layaknya sebuah siklus melebar ke Facebook dan Twitter sebagai media berbagi informasi dan interaksi dengan penikmat musik yang sangat tersegmen ini.

Pergerakan yang diperjelas oleh PAS Band di tahun 1993 ini makin tumbuh subur berkat media sosial, memungkinkan pembangunan komunitas virtual yang menopang dan membangun jaringan yang bahkan lebih luas dari scene musik non-independen. Tahun 90-an musik indie hanyalah bagian dari musik underground, yang kasetnya hanya diedarkan di toko-toko distro (kependekan dari distributor) di Bandung. Tahun 2000an, musisi-musisi yang bertahan dengan tidak dikontrak label kawakan inilah yang berjasa mengharumkan nama bangsa di kancah internasional hanya melalui media sosial. Entah ditemukan oleh perusahaan rekaman kaliber dunia seperti The S.I.G.I.T atau konsistensi yang berbuah koneksi ke negeri ginseng seperti band folk Mocca jadi kisah happy ending musisi indie. Yang manapun pemicunya, dua nama tadi sudah cukup menjelaskan kekuatan jejaring sosial untuk industri kreatif.

Kesuksesan adalah candu. Mulai bermunculan ke permukaan nama-nama band indie yang semakin didukung massa yang sarapan dengan Twitter dan makan siang ditemani YouTube. Haus akan musik-musik yang berani beda menggelitik penikmat musik di Indonesia untuk mendukung mereka yang gagah mengambil jalur indie, tentunya lewat media sosial dengan kesederhanaan metode interaksi yang bebas polusi pretensi hasil dari kontrol perusahaan rekaman besar.

Interaksi adalah 'oksigen' bagi makhluk sosial. Media sosial dengan tepatnya mempersonifikasi sebutannya dengan menyediakan apa yang dibutuhkan makhluk sosial. Tombol follow di Twitter atau like di Facebook adalah sebuah keputusan. Pengguna media sosial sadar betul setelah mengklik tombol-tombol tersebut, mereka akan jadi bagian dari suatu komunitas. Mereka yang memilih, konten apa yang sesuai dengan minat mereka. Mereka yang melangkah, sejauh mana mereka ingin bersinggungan dengan suatu komunitas di media sosial. Bagi pemusik indie, ini adalah suatu kekuatan yang bermutualisasi. Media sosial dengan cerdik dimaksimalkan sebagai ajang penjawab kebutuhan. Layaknya semut dan manisan, jejak-jejak konten 'manis' yang sengaja ditinggalkan di dimensi virtual akan didatangi oleh 'semut'.

Berita terbaru hingga sapaan selamat pagi menjadi bagian yang disebut konten, yang dengan murah hati dibagi dengan khalayak yang sudah bergabung di media sosial band-band indie. Bagi sukarelawan yang mengaksesnya setiap hari, tanpa sadar pun mereka berkontribusi. Ceritakan sesuatu lewat dunia maya, dan mari menunggu efek domino dari sifat alami manusia yang tidak tinggal diam ketika hal yang menjadi kecintaannya disebut selintas. Musik, dalam hal ini, selalu menarik untuk disimak. Album baru, lagu baru, prestasi, jadwal konser, sebutlah apa saja yang dapat dikaitkan, dan satu dua tiga sepuluh sahutan bermunculan menanggapi isi, melahirkan komunikasi, mengundang atensi, dan akhirnya, mengembangbiakkan saksi yang dengan gampangnya berpromosi atas dasar apresiasi, melebarkan sayap band indie.

Kekuatan media sosial yang tidak terbatas ruang dan waktu. Kreatifitas industri musik yang berani keluar dari kotak zona nyaman. Dua hal yang saling melengkapi satu dengan yang lain, di mana media sosial adalah kendaraan canggih yang berkembang sesuai masa mengantarkan penumpang-penumpang bervisi sampai ke mana saja tujuannya. Sebuah pola yang telah lebih dahulu diterapkan menjadi misi utama Prasetiya Mulya Business School dalam melahirkan kreator yang berkontribusi bagi masyarakat. Musisi independen sebagai satu dari sekian banyak komunitas yang bergerak dengan poros media sosial, terus menginspirasi dan berkreasi. Sebangga itulah dunia music entrepreneurship Indonesia di masa mendatang.

1 comment:

  1. terima kasih telah posting... itu sangat bermnafaat untuk saya

    ReplyDelete